Senin, 15 Februari 2010

Queen Victoria Market VS Pasar Sorobayan*

Apa bedanya Queen Victoria Market (QVM ) dengan Pasar Klewer di Solo, dan Pasar Sorobayan di desa Simbah (=nenek)? Tempatnya sudah pasti beda. QVM adanya di negara bagian Victoria, Melbourne, Australia, Pasar Klewer di Solo dekat Kraton Surakarta, dan Pasar Sorobayan tempatnya di Bantul Yogyakarta, dekat rumah Simbah.

Perbedaan yang lain adalah, kita bisa browsing di internet untuk cari QVM, tinggal klik google search for queen victoria market dan….find 250 kata yang berhubungan dengan QVM, demikian juga untuk Pasar Klewer, tinggal ganti search for pasar klewer dan…find 25 kata yang memuat Pasar Klewer. Sementara search for pasar sorobayan dan find 0. Hehehe….

Perbedaan lain adalah, ”……opo tho kuin viktoria market, kalo pasar klewer yo isih ngerti, rak nggon kulakan batik neng Solo tho? Wis suwe simbah ora tok ajak jalan-jalan kesana, nduk…Nek pasar sorobayan yo kari mlaku...” (apa sich Queen Victoria Market, kalau Pasar Klewer ya masih tau, kan tempat kulakan batik di solo tho? Udah lama Simbah nggak kamu ajak jalan-jalan kesana, nduk. Kalau pasar sorobayan ya tinggal jalan)

Seperti halnya Pasar Klewer untuk Bu Bei (Canting, Arswendo Atmowiloto)….

"Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dengan suasana di rumah. Bu Bei menjadi seorang direktur, seorang manajer, seorang pelaksana yang sigap.

Pasar..
Pasar adalah panggung di mana wanita-wanita, yang di rumah memegang peran pembantu, menjadi yang nomor satu. Di mana ibu-ibu menjadi sadar harga dirinya, daya tariknya, haknya untuk menentukan dan berbuat apa maunya. Di pasar inilah wanita menjadi lelaki. Bu Bei menjadi Pak Bei yang pergi ‘tirakatan’ Jumat Kliwon. Tatapan mata, sentuhan tangan, senyuman, bisa dipilih untuk diteruskan, ditunda, atau ditawarkan
."

Maka, Pasar Sorobayan adalah tempat ‘gaul’ untuk Simbah. Pasar tradisional yang hanya buka dalam hari-hari pasaran, Pon dan Kliwon. Letaknya 20 menit jalan kaki dari rumah Simbah. Di peta pasti tidak kelihatan. Tempatnya terpencil di sebuah desa kelahiran yang tenang dan asri. Dari kota Yogyakarta, ± 30 KM ke arah Selatan, sampailah ke Kabupaten Bantul, jalan lagi ± 30KM lagi ke arah Selatan, ketemulah Kecamatan Sanden, terus lagi sampai ketemu Kelurahan Gadingsari, tepatnya di Desa Sorobayan. Nah, sampailah di Pasar-nya Simbah yang dinamai sama dengan nama tempatnya.

Seperti Bu Bei, setiap Pon dan Kliwon Simbah akan berdandan rapi dan cantik. Bersanggul, berbedak, berlipstik, menggenakan kain batik dan kebaya terbaik. Hari itu adalah hari besar untuknya. Bertemu banyak orang, bertemu banyak teman. Lik Sastro penjual jamu, Lik Prapto penjual beras, Mbah Temu penjual batik, atau Lik Kuru penjual sirih...

Tidak kalah seperti di hotel bintang lima, sambutan di pasar luar biasa. Sapaan sopan yang meriah dengan bahasa Jawa halus Kromo Hinggil sejak menginjakan kaki di pintu gerbang depan pasar.....

...monggo bu, bade mundut menopo? Kobisipun sae-sae lho. Tasih enggal meniko...”
(silakan bu, mau beli apa? Kol nya bagus-bagus lho. Ini masih baru..)
“...batik bu, lengkap niki warnane, kantun milih...”
(batik bu, lengkap nich warnanya, bisa milih...)
“....pinarak Bu Mur, niki rak Mbak Erry tho, wah tambah ayu njih. Kapan kundur saking Jakarta Mbak?...”
(mampir Bu Mur, ini Mbak Erry kan, wah tambah cantik ya. Kapan pulang dari Jakarta?...
)

Disini Simbah Putri menemukan dunianya. Semua orang sepertinya saling kenal satu sama lain. Seperti sebuah keluarga besar. Bukan Cuma Simbah yang dikenal, tapi bahkan anaknya, cucunya, pembantunya, tetangganya, dan gosip-gosip yang menyertainya.

Disini semua ada, seperti halnya pasar-pasar lain di dunia. Tapi bagi Simbah, pasar ini yang paling lengkap dan istimewa. Disini ada daun sirih satu paket dengan gambir dan susur (terbuat dari tembakau, teman menyirih) kegemarannya. Juga ada banyak jajan pasar unik yang tidak bisa ditemukan di QVM. Tiwul (terbuat dari tepung singkong diparut diberi gula jawa dan ditaburi parutan kelapa. One of my favorit), cenil (terbuat dari sagu warna warni ditaburi gula pasir), growol (terbuat dari tepung singkong yang baunya seperti makanan basi. Saya juga nggak tau dimana enaknya, tapi ini kesukaan Bapak), otek (jewawut untuk makanan burung yang diolah dan jadi makanan yang luar biasa legit! It’s my favorite), belum lagi bubur sumsum, pecel, dawet, buntil, urap, dll, dll.... Hmmmm....

Pulang dari pasar, dengan semangat 45, dia akan menurunkan gendongannya dan mulai membagi-bagikan oleh-oleh untuk masing-masing anggota keluarga. Rokok linting untuk Simbah Kakung (waktu Beliau masih ada), cenil untuk adik saya, otek untuk saya, pecel untuk Lik Larmi (pembantu di rumah), dan jamu untuk dirinya sendiri. “Biar nggak pegel-pegel,” katanya.

Itulah Simbah dan pasar-nya. Queen Victoria Market memang tidak dikenalnya, karena justru disana dia akan kebingungan mencarikan oleh-oleh untuk kami semua. Tidak ada rokok linting, tidak ada cenil, tidak ada otek, tidak ada pecel dan juga tidak ada jamu untuk dirinya.

Justru di pasar ini, pasar yang tidak ada dalam peta atau tidak bisa di search dengan google, simbah menemukan dunianya. Karena disini ada Lik Sastro penjual jamu, Lik Prapto penjual beras, Mbah Temu penjual batik, atau Lik Kuru penjual sirih yang tidak akan ditemuinya di Queen Victoria.....

*...untuk Simbah tercinta, yang membelikan bra pertamaku di Pasar Sorobayan....

1 komentar: