Kamis, 11 Maret 2010

MARO GABAH

Ijinkan saya menyisipkan tulisan sedikit ilmiah untuk DALEM NOMPOREJO. Tulisan ini saya ambil dari paper untuk mata kuliah Psikologi Perdaimaian. Mata kuliah yang sangat mencerahkan dan membuka mata bahwa psikologi bukan hanya mengutak utik yang sakit, tapi adalah usaha preventif sehingga masing-masing individu memiliki kesejahteraan psikologisnya.  

Semoga dapat menjadi manfaat.....


Maro gabah dikenal di desa saya, Sanden, Bantul, Yogyakarta. Konsepnya adalah pemilik tanah memberikan tanahnya untuk diolah pada buruh tani yang –biasanya- tidak memiliki tanah untuk diolah. Konsep ini tidak memerlukan uang dalam transaksinya, tapi murni pembagian hasil sawah yang berupa gabah, dengan komposisi 50%-50%, 50% pemilik tanah dan 50% penggarap sawah. 50% yang dibagi ini adalah jumlah setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan, seperti bibit, pupuk, tenaga kerja.  

Maro gabah ini dimulai sejak jaman Belanda. Dalam satu sistem masyarakat terdiri dari 2 kelompok, yaitu tuan tanah –yang biasanya secara sosial ekonomi kaya- dan buruh tani –yang biasanya secara sosial ekonomi miskin. Para tuan tanah ini biasanya memiliki tanah karena:
  1. Warisan dari orang tuanya, biasanya mereka adalah para ningrat atau bangsawan
  2. Kaki tangan Belanda
  3. Penjaga perkebunan
  4. Jabatan dalam pemerintahan: lurah atau carik yang mendapat tanah bengkok (tanah lenggah)
Dalam struktur masyarakat ini umumnya terjadi perbedaan strata dan gap antar kelompok, yaitu yang berpunya dengan kelompok miskin, kelompok bangsawan dan kelompok jelata. Disini ada potensial konflik diantara 2 kelompok tersebut, seperti kecemburuan sosial dan eksklusifisme dari masing-masing kelompok. Menurut Homans (1958), Blau (1964) dan Walster, Walster, dan Berscheid (1978) dalam Isenhart & Spangle, 2000, konflik ini muncul dari perspektif distribusi keadilan. Orang menjadi distres, frustasi dan marah ketika mereka tidak menerima distribusi dengan adil atas sesuatu yang berharga. Maro gabah ini memiliki 2 perspektif, yaitu:
  1. Murni transaksi ekonomi, biasanya pemilik tanah tidak memiliki waktu dan tenaga untuk manggarap sawah, sehingga mereka memberikan pada orang lain untuk mengolahnya. Pada persepektif ini biasanya mereka memilih orang dengan produktivitas yang tinggi supaya hasil panennya optimal.
  2. Sikap kepedulian pada sesama yang berada dalam komunitas tersebut. Sikap mendukung sesama yang kurang beruntung. Selain itu juga membuat kelompok ini semakin kohesif dan bertransformasi menjadi inklusif.
Dalam sistem masyarakat desa yang komunal, maro gabah menjadi suatu sistem sosial yang lebih kepada tanggung jawab bersama. Maro gabah menjadi satu bentuk peacekeeping, yang pada dasarnya merupakan bentuk reaktif dengan tujuan mengurangi situasi yang buruk dari konflik. Dengan maro gabah, maka akan tercipta keadilan yang dirasakan oleh seluruh warga yang ada di desa tersebut dan menghilangkan gap serta eksklusifitas dari masing-masing kelompok.  

Dalam Teori Equity, Murdoon (1996) dalam Isenhart & Spangle, 2000, menjelaskan bahwa, “masing-masing dari kita memiliki moral internal yang dapat digunakan untuk menciptakan stabilitas atau memelihara kita dalam kehidupan yang seimbang dengan dunia luar. Hal itu akan terganggu manakala kita merasa bahwa orang lain akan mengambil benefit dari pengeluaran kita atau ketika kita mengambil benefit secara tidak adil atas pengeluaran orang lain”. Menurut teori Equity, maro gabah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral dari mereka yang memiliki sumber daya berlebih, dalam hal ini sumber daya finansial (financial capital) dan lahan, yang kemudian dibagi kepada mereka yang memiliki sumber daya tenaga (human capital). Tujuannya agar terjadi pemerataan dalam komunitas tersebut dan seimbang. Pemberdayaan yang ada didalam komunitas tersebut akan membuat kesetaraan dan semakin sempitnya gap yang ada diantara 2 kelompok. Dengan begitu, masing-masing pihak akan merasa equal. Secara jangka panjang potensial konflik yang mungkin terjadi akan terminimalisir dan menjadi tindakan preventif untuk tetap menjaga perdamaian (peacekeeping).  

Dalam Isenhart & Spangle, 2000, disebutkan bahwa Teori Sistem merupakan teori yang berperspektif keluarga, kelompok, dan organisasi sebagai unit dari bagian yang saling terhubung, mempengaruhi dan memiliki fungsi dalam lingkungan yang lebih besar. Penemu teori sistem, yaitu Ludwig von Bertalanffy (1955), menggambarkan teori ini seperti organisme biologis. Seperti organisme biologis, sistem dikarakteristikkan seperti tertutup dan terbuka berdasarkan pada tindakan responsif pada informasi eksternal pada sistem tersebut. Homeostatis menjadi tujuan dari para pihak dan mereka akan saling menyesuaikan komunikasi mereka untuk mencapai atau memelihara keseimbangan. Anggota kelompok dalam sistem tersebut saling tergantung, seperti halnya mereka juga saling mempengaruhi secara simultan. Sistem bukanlah hitungan linear, tapi merupakan penjumlahan dari banyak bagian.  

Cupach dan Canary (1997) menjabarkan 3 kategori dari sistem yang di-breakdown menjadi:
  1. Transaksional yang tidak berguna, dimana orang terlibat konflik yang sama, pola interaksi yang tidak berubah. Orang dalam sistem ini tidak dapat melihat ketidakefektifan dalam pola ini atau tidak rela untuk mengubah pola tersebut. Sehingga seolah mereka mempertahankan status quo.
  2. Penyebab sistem rusak adalah ketika satu bagian dari sistem, sebuah subsistem, menjadi tidak efektif. Kurangnya kerjasama atau kegagalan pada sebuah sistem membuat sulitnya sistem tersebut mencapai tujuannya.
  3. Penyebab keterlibatan anggota yang melebihi peran. Ketika seseorang lebih berharap pada peran, ketidakseimbangan akan muncul.
Sosiolog Talcott Parson, Robert Merton dan Emile Durkheim memakai konsep sistem untuk mendeskripsikan pengaruh konflik pada kesehatan atau keefektifan kelompok. Mereka mendeskripsikan stabilitas dan sistem fungsional sebagai satu kesatuan dimana masing-masing anggota menciptakan harmonisasi dalam keseluruhan yang lebih besar. Disfungsi muncul ketika orang menyebabkan gangguan dalam sistem yang stabil.  

Menurut Teori Sistem, maro gabah merupakan salah satu cara untuk membuat komunitas desa tersebut mencapai homeostatis atau keseimbangan. Saat dua kelompok yang berbeda, yaitu kaya dan miskin ini tidak membantu, maka mereka tetap berada di 2 kutub yang berbeda. Buruh tani yang miskin akan berkutat dengan kemiskinannya dan kemungkinan lain yang lazim terjadi adalah para buruh ini akan keluar dari desa tersebut untuk mencari penghidupan di tempat lain dengan bekerja serabutan apa saja. Sementara disisi lain, sebenarnya pemilik tanah juga membutuhkan buruh tani, terlepas dengan tujuan membantu mereka untuk memperbaiki kehidupan ekonomi atau murni untuk menggarap sawah para pemilik tanah. Diantara 2 kelompok ini ada saling ketergantungan. Buruh tani membutuhkan lahan untuk digarap sebagai mata pencaharian atau sumber penghidupan mereka, sementara pemilik tanah membutuhkan petani penggarap. 

Bila ini berlanjut terus menerus, maka akan menjadi semacam siklus dalam masyarakat desa tersebut untuk saling menopang kebutuhan pihak lain. Dari sini akan tercipta homeostatis dalam sistem sosial, karena mereka sama-sama terpenuhi kebutuhannya. Tamas, 1987 & 2000 menyebutkan bahwa, dalam teori sistem dikenal energi atau pengaruh, yaitu variasi dari macam-macam hal yang melampaui batasan/bounderis. Energi ini disebut juga social power atau psychological energy yang merupakan elemen yang dibutuhkan dalam fungsi sistem sosial. Energi ini dapat menolong peningkatan kesejahteraan komunitas. 

Dibutuhkan energi dari komponen masyarakat desa, terutama pemilik tanah untuk punya tanggung jawab moral dan keinginan dari dalam diri untuk memberikan sawahnya untuk diolah buruh tani, dibanding hanya mempekerjakan buruh tani dalam mengolah sawahnya. Dalam susunan masyarakat desa ini, apabila buruh tani tidak memiliki modal diawal untuk membeli pupuk, bibit, dan keperluan lain, maka dia bisa meminjam uang dulu pada pemilik tanah. Ada beberapa pemilik tanah yang memberikan pinjaman dengan ditambah bunga, namun dalam konteks perdamaian, social power atau psychological energy yang keluar adalah semangat membantu dan kebersamaan.  

Dengan adanya saling ketergantungan dan pola terus menerus sepert ini, diharapkan desa tersebut akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, yaitu kebutuhan pekerjaan, kebutuhuhan tenaga kerja dan kebutuhan pokok beras. Harapannya adalah ada kehidupan dan penghidupan yang lebih layak bagi para petani buruh dan homeostatis dari komunitas desa tersebut. Dengan terpenuhinya kebutuhan pada masing-masing individu dan kelompok dalam sistem tersebut, maka akan tercipta well-being atau kesejahteraan dalam komunitas tersebut. Dengan well-being, maka kondisi damai akan terpelihara dan berkelanjutan.  

REFERENSI Isenhart, Myra Warren & Spangle, Michael, Collaborative Approaches to Resolving Conflict, Sage Publication Inc., 2000 | Tamas, Andy, Sistem Theory in Community Development, White House, Yukon, & Almonte, Ontario, 1987 & 2000

Rabu, 03 Maret 2010

DALEM NOMPOREJO


-Ssstttt....foto dengan tulisan memang nggak ada hubungannya, tapi daripada nggak ada fotonya, jadi maafkanlah :) -

Hehehehehe… saya bingung mau kasih judul apa, ya sudahlah saya kasih judul seperti nama rumahnya saja.

Sebetulnya nama Dalem Nomporejo itu bukan nama rumah ini, tapi hanya buatan saya dan adik-adik aja, biar keren dan gaya. Hahahaha…. Kalau sejarah namanya, Nomporejo itu adalah nama kuno dari Demakan. Demakan ini nama dusun saya. Sik, apa bedanya dusun dan desa? Saya nyebutnya dusun karena kepala kampung Demakan kami sebut dengan Kadus (Kepala Dusun) bukan Kades (Kepala Desa), tapi orang-orang disini menyebutnya dengan istilah lain lagi, yaitu Dukuh. Pak Dukuh, begitu para penduduk memanggil beliau. Dukuh Supri namanya. Orangnya masih muda, dia adik kelas saya di SMP 1 Sanden. Kagum saya sama beliau, berani maju sebagai Dukuh. Secara banyak pekerjaan yang biasanya lebih dididam-idamkan sama orang-orang muda seperti beliau, tapi tampaknya panggilan untuk mengabdi di dusun Demakan lebih kuat memanggil. HEBAT!!!!

Eh, kok jadi nggosipin Pak Dukuh Supri ki piye tho?

Balik ke asal muasal nama ya! Jadi, Nomporejo itu nama Demakan tempoe doeloe. Seperti Batavia untuk Jakarta. Nah, bapak saya suka banget sama nama ini, jadinya kami juga kebawa dech untuk kasih nama jadi Delam Nomporejo, kesannya lebih Njawani dan lebih klasik dibanding nama Dalem Demakan. Iya kan?

Beberapa teman yang sudah membuka blog ini Tanya sama saya,”…Ri, ini rumahnya siapa? Rumah itu masih ada nggak?” Saya jawab ini rumah turun temurun dari nenek moyang, mungkin dibangun sekitar tahun 1800-an, ini sih kata bapak saya. Belum teruji kebenarannya sih, tapi kalua betul begitu, wah..bangga juga bisa tinggal di rumah peninggalan simbah ini :) Rumah ini masih tegak berdiri dengan renovasi dan perbaikan berkala. Hanya yang agak disayangkan adalah, bapak me-renovasinya dengan sentuhan modern. Maklum, bapak lebih mengutamakan kekeuatan, kekokohan dan kemampubertahanan bangunan dibanding artistiknya. Dan memang bapak saya ini kurang artistic sih. Hehehehe…. Maaf lho pak ;)

Beberapa teman yang lain Tanya,”Boleh berkunjung kesitu nggak?” Wah, ya boleh banget tho yooo….! Monggo…monggo…datang berkunjung, mumpung masih free dan belum di komersilkan. Hehehehe….

Selain pertanyaan, sahabat saya Risa kasih usulan yang brilian,”Gimana kalau disitu kita bisa foto a la perempuan dan pria Jawa, dengan kebaya lengkap untuk perempuan dan sorjan untuk kaum pria-nya?” Iya juga ya, bukannya kalau kita ke Belanda atau Cina kita sering foto dengan pakaian adat mereka? Thank you usulnya ya sista….. :) Sebetulnya saya punya fotonya simbah buyut kakung dan simbah buyut putrid dengan pakaian Jawa dan sangat klasik. Beliau berdua foto seluruh badan berdua dan tanpa alas kaki. Foto itu baguuuusss sekali, tapi maaf, belum saya scan. Menyusul ya.

Usulan Risa selain itu adalah andong. Tau andong? Bahasa Indonesianya Delman. Keren juga ya kita keliling desa pakai andong, kayak di Malioboro itu lho. Tapi kudanya mahal je Sa! Hmmm….

Itu dulu ya ceritanya, saya mau kerja lagi nich. Besok kita sambung lagi dengan cerita-cerita klasik masa lalu dari kerajaan Nomporejo. Tentang kenapa namanya Demakan, tentang siapa itu Mbah Demak. Waah, masih banyak dech yang belum sempat ditulis.

Mekaten njih. Pareng, nyuwun pamit rumiyin:)

Senin, 15 Februari 2010

Good morning dear friend :)

Mengenang Dalem Nomporejo seperti melihat kilas balik perjalanan hidup. Sangat banyak yang didapat disini. Sangat banyak! Fondasi hidup ke depan, kasih sayang simbah, kearifan lokal and many more!

Yup! Saya tinggal bersama mbah kakung putri di Dalem kurang lebih 4 tahun. Waktu SMP sampai dengan kelas 1 SMA. Bapak ibu dan adik-adik saya di Jakarta nan panas dan macet. Hehehehe… Critanya gini…..

Sejak kecil kami semua tinggal di Jakarta sekeluarga, bapak ibu, dan 2 orang adik saya. Nah, setiap kami liburan sekolah, tujuan wisata utama adalah Yogyakarta. Maklum, kami 100% asli Ngayogyakarta Hadiningrat. Jadi Yogya minded pokoke! Biasanya base camp kami di Yogya ya rumah simbah ini. Karena simbah cuma tinggal berdua dan ditemani pembantu, jadi setiap kami datang, beliau berdua senangnya bukan main. Waahhh…jadi rame dan meriah. Tapi, setiap liburan kami habis dan harus kembali ke Jakarta, simbah putri selalu berkaca-kaca dan mengelap matanya dengan ujung kebayanya. Duuuhhh… nggak tega aku! Simbah putri memang moto yuyu (mata kepiting), jadi gampang menangis. Dari situlah saya jadi kepikiran untuk nemenin simbah begitu lulus SD. Saya bilang ke bapak,”Pak, kalau aku udah lulus SD, SMP ku di Yogya aja ya, sekalian nemenin simbah. Mesa’ake (kasian) cuma berdua.” Dan dengan suka cita bapak ibu menjawab,”Yo wis, ora popo, begitu lulus neng Yogya wae. Bapak ibu malah luwih tenang.” Terjemahannya gini nich,”Ya udah, nggak papa, begitu lulus ke Yogya aja. Bapak ibu malah lebih tenang.” Maklum, jaman itu banyak isu pemalakan anak-anak sekolah, kenakalan remaja, dll, dll. Jadi, kalau sekolah di Yogya, terlebih di desa, rasanya bakal lebih terjamin keamanan dan kebaikannya. Gitulah kira-kira…

Dulu, waktu saya SMP (tahun 1986an, udah lama banget ya?), kondisi Dalem dan desa Demakan ini masih sangaaatt sunyi dan gelap remang-remang. Ya, waktu itu belum ada listrik. Dalem masih berlantai tanah dan TV masih pakai accu. Sangat menyenangkan dan tradisional banget. Setiap sore, kami bertiga, mbah kakung, mbah putri dan saya, sudah menyiapkan lampu-lampu kecil (kami menyebutnya senthir) dan lampu petromax untuk penerangan di dalam rumah dan pojok-pojok halaman yang harus diberi penerangan. Petromax kami pasang di dalam rumah. “Ben padang le sinau,” kata mbah kakung. “Biar terang belajarnya,” itu bahasa Indonesianya. Kegiatan pagi hari beda lagi, jam 5 kami –tepatnya mbah kakung & mbah putri, saya sih masih sleeping beauty- mengambil senthir-senthir tadi dan menaruh kembali di tempat penyimpanan untuk di display lagi sore nanti :) Dan begitu seterusnya dari hari ke hari, sampai suatu ketika bapak membelikan diesel untuk penerangan di Dalem. Aaaahhh..senangnya!

Buat saya, tinggal di desa tercinta ini seperti petualangan yang benar-benar saya pilih, saya rasakan sensasi kehidupan kesehariannya. Saya merasa beruntung karena merasakan tinggal dalam 2 atmosfir yang berbeda, Jakarta yang penuh sesak, padat dan dinamis. Dan sisi lain desa Demakan yang tenang, alami, dan semua dilakukan dengan berlahan. Nah, kalau dulu liburan saya ke Yogya, sekarang sebaliknya, setiap liburan saya ke Jakarta untuk ketemu bapak ibu, adik-adik dan temen-temen SD saya.

Hiburan saya selama hidup di Delam cukup banyak! Ke sawah sama mbah kakung, ngambilin telur bebek di kandang belakang rumah, nemenin mbah kakung unduh-unduh (memetik kelapa di hari-hari tertentu), njagain padi yang dijemur di halaman supaya nggak di curi ayam (kalau saya pikir-pikir emang ayam bakal makan seberapa banyak ya sampai tuh padi mesti ditungguin? Hihihihi…), belanja ke pasar sama mbah putri di hari-hari pasaran kalau saya pas libur (di desa, pasar tidak buka setiap hari. Biasanya buka di hari-hari pasar, misalnya: setiap pon dan kliwon) dan kadang-kadang ke pantai yang jaraknya cuma sekitar 5 KM dari Dalem.. Cerita tentang pasar, saya ambilkan dari blog saya yang lain ya. Saya akan posting setelah ini, yang artinya secara urutan berada di bawah tulisan ini.

Hmmm…. Apa lagi yaaa? Kayaknya itu dulu dech. Mudah-mudahan tulisan ini cukup buat pengisi hari. Lumayan daripada harus beli tabloid. Hehehehee…..

Have a great day!

Queen Victoria Market VS Pasar Sorobayan*

Apa bedanya Queen Victoria Market (QVM ) dengan Pasar Klewer di Solo, dan Pasar Sorobayan di desa Simbah (=nenek)? Tempatnya sudah pasti beda. QVM adanya di negara bagian Victoria, Melbourne, Australia, Pasar Klewer di Solo dekat Kraton Surakarta, dan Pasar Sorobayan tempatnya di Bantul Yogyakarta, dekat rumah Simbah.

Perbedaan yang lain adalah, kita bisa browsing di internet untuk cari QVM, tinggal klik google search for queen victoria market dan….find 250 kata yang berhubungan dengan QVM, demikian juga untuk Pasar Klewer, tinggal ganti search for pasar klewer dan…find 25 kata yang memuat Pasar Klewer. Sementara search for pasar sorobayan dan find 0. Hehehe….

Perbedaan lain adalah, ”……opo tho kuin viktoria market, kalo pasar klewer yo isih ngerti, rak nggon kulakan batik neng Solo tho? Wis suwe simbah ora tok ajak jalan-jalan kesana, nduk…Nek pasar sorobayan yo kari mlaku...” (apa sich Queen Victoria Market, kalau Pasar Klewer ya masih tau, kan tempat kulakan batik di solo tho? Udah lama Simbah nggak kamu ajak jalan-jalan kesana, nduk. Kalau pasar sorobayan ya tinggal jalan)

Seperti halnya Pasar Klewer untuk Bu Bei (Canting, Arswendo Atmowiloto)….

"Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dengan suasana di rumah. Bu Bei menjadi seorang direktur, seorang manajer, seorang pelaksana yang sigap.

Pasar..
Pasar adalah panggung di mana wanita-wanita, yang di rumah memegang peran pembantu, menjadi yang nomor satu. Di mana ibu-ibu menjadi sadar harga dirinya, daya tariknya, haknya untuk menentukan dan berbuat apa maunya. Di pasar inilah wanita menjadi lelaki. Bu Bei menjadi Pak Bei yang pergi ‘tirakatan’ Jumat Kliwon. Tatapan mata, sentuhan tangan, senyuman, bisa dipilih untuk diteruskan, ditunda, atau ditawarkan
."

Maka, Pasar Sorobayan adalah tempat ‘gaul’ untuk Simbah. Pasar tradisional yang hanya buka dalam hari-hari pasaran, Pon dan Kliwon. Letaknya 20 menit jalan kaki dari rumah Simbah. Di peta pasti tidak kelihatan. Tempatnya terpencil di sebuah desa kelahiran yang tenang dan asri. Dari kota Yogyakarta, ± 30 KM ke arah Selatan, sampailah ke Kabupaten Bantul, jalan lagi ± 30KM lagi ke arah Selatan, ketemulah Kecamatan Sanden, terus lagi sampai ketemu Kelurahan Gadingsari, tepatnya di Desa Sorobayan. Nah, sampailah di Pasar-nya Simbah yang dinamai sama dengan nama tempatnya.

Seperti Bu Bei, setiap Pon dan Kliwon Simbah akan berdandan rapi dan cantik. Bersanggul, berbedak, berlipstik, menggenakan kain batik dan kebaya terbaik. Hari itu adalah hari besar untuknya. Bertemu banyak orang, bertemu banyak teman. Lik Sastro penjual jamu, Lik Prapto penjual beras, Mbah Temu penjual batik, atau Lik Kuru penjual sirih...

Tidak kalah seperti di hotel bintang lima, sambutan di pasar luar biasa. Sapaan sopan yang meriah dengan bahasa Jawa halus Kromo Hinggil sejak menginjakan kaki di pintu gerbang depan pasar.....

...monggo bu, bade mundut menopo? Kobisipun sae-sae lho. Tasih enggal meniko...”
(silakan bu, mau beli apa? Kol nya bagus-bagus lho. Ini masih baru..)
“...batik bu, lengkap niki warnane, kantun milih...”
(batik bu, lengkap nich warnanya, bisa milih...)
“....pinarak Bu Mur, niki rak Mbak Erry tho, wah tambah ayu njih. Kapan kundur saking Jakarta Mbak?...”
(mampir Bu Mur, ini Mbak Erry kan, wah tambah cantik ya. Kapan pulang dari Jakarta?...
)

Disini Simbah Putri menemukan dunianya. Semua orang sepertinya saling kenal satu sama lain. Seperti sebuah keluarga besar. Bukan Cuma Simbah yang dikenal, tapi bahkan anaknya, cucunya, pembantunya, tetangganya, dan gosip-gosip yang menyertainya.

Disini semua ada, seperti halnya pasar-pasar lain di dunia. Tapi bagi Simbah, pasar ini yang paling lengkap dan istimewa. Disini ada daun sirih satu paket dengan gambir dan susur (terbuat dari tembakau, teman menyirih) kegemarannya. Juga ada banyak jajan pasar unik yang tidak bisa ditemukan di QVM. Tiwul (terbuat dari tepung singkong diparut diberi gula jawa dan ditaburi parutan kelapa. One of my favorit), cenil (terbuat dari sagu warna warni ditaburi gula pasir), growol (terbuat dari tepung singkong yang baunya seperti makanan basi. Saya juga nggak tau dimana enaknya, tapi ini kesukaan Bapak), otek (jewawut untuk makanan burung yang diolah dan jadi makanan yang luar biasa legit! It’s my favorite), belum lagi bubur sumsum, pecel, dawet, buntil, urap, dll, dll.... Hmmmm....

Pulang dari pasar, dengan semangat 45, dia akan menurunkan gendongannya dan mulai membagi-bagikan oleh-oleh untuk masing-masing anggota keluarga. Rokok linting untuk Simbah Kakung (waktu Beliau masih ada), cenil untuk adik saya, otek untuk saya, pecel untuk Lik Larmi (pembantu di rumah), dan jamu untuk dirinya sendiri. “Biar nggak pegel-pegel,” katanya.

Itulah Simbah dan pasar-nya. Queen Victoria Market memang tidak dikenalnya, karena justru disana dia akan kebingungan mencarikan oleh-oleh untuk kami semua. Tidak ada rokok linting, tidak ada cenil, tidak ada otek, tidak ada pecel dan juga tidak ada jamu untuk dirinya.

Justru di pasar ini, pasar yang tidak ada dalam peta atau tidak bisa di search dengan google, simbah menemukan dunianya. Karena disini ada Lik Sastro penjual jamu, Lik Prapto penjual beras, Mbah Temu penjual batik, atau Lik Kuru penjual sirih yang tidak akan ditemuinya di Queen Victoria.....

*...untuk Simbah tercinta, yang membelikan bra pertamaku di Pasar Sorobayan....

Kamis, 11 Februari 2010

GAMELAN

Ini cerita tentang gamelan. Karena saya tidak menguasai, maka saya ambil dari WIKIPEDIA. Enjoy..... :)

Gamelan
adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya
/ alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.

Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]

Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.

PRINGGITAN


Pringgitan, bagus ya kata ini? Kesannya manis, menyambut dan ramah. Ini asosiasi saya pada kata pringgitan. Hehehe… agak maksa ya?

Sebetulnya apa sih pringgitan? Buat teman-teman yang dari Jawa mungkin sudah familiar dengan istilah ini, tapi buat teman-teman yang masih asing, yuk kita ngobrol bareng. Hmm..kalau kita ngobrolnya di pringgitan, pasti lebih asoooyyyy….. –jadul pisan istilahnya ya? :)

Pringgitan ini seperti teras untuk rumah jaman sekarang. Letaknya ada di belakang pendopo, menempel dengan ndalem (rumah bagian dalam). Pringgitan di Dalem Nomporejo ini sekarang sudah ditutup dengan kayu berlubang-lubang –liat fotonya dech!-, alasannya untuk keamanan karena sekarang di pringgitan itu ada seperangkat gamelan. Nah, keliatan kan di fotonya?

Pringgitan ini dulu jaman saya masih SD, bahkan sampai kuliah (tahun ‘93an) dibiarkan terbuka. Biasanya pringgitan ini fungsinya untuk menerima tamu. Dan kalau lebaran, di atas mejanya akan disiapkan camilan roti-roti, kue dan biskuit yang terhidang mengundang selera. Duh, lebaran masih lama ya?

Laaahh, malah inget lebaran. Kembali ke Pringgitan yaaa..

Pringgitan ini adalah salah satu tempat favorit saya. Dulu, sebelum pringgitan ini ditutup, saya suka banget duduk disini, apalagi kalau tengahan sore jam 3an. Angin semilir berasa enak banget bikin ngantuk dan kita bisa bebas memandang latar (bahasa Jawa untuk halaman), jalan di depan rumah dan tembok makam yang eksotis berlumut. Hehehehe… di depan Dalem Nomporejo ini memang makam, tapi nggak serem kok, bener dech! Serius!

Di pringgitan ini biasanya saya baca buku, ditemenin teh manis hangat dan pisang goreng bikinan simbah. Dan yang paling saya suka, kalau simbah ikutan duduk nemenin saya. Rasanya tentrem. Jam-jam segitu, adalah jadwal simbah kakung nyiramin latar biar nggak debu dan nyiramin tanaman. Bau tanah bercampur air siraman rasanya kok enak bener. I miss the atmosphere.

Kalau saya inget-inget, mbah kakung kuat dan sehat banget ya. Lha wong nyiraminnya bukan pake selang yang tinggal dinyalain krannya dan dipencet ujungnya, tapi pakai gembor. Gembor? Apa tuh? Hehehehe…. Gembor itu semacam tempat air untuk nyiram tanaman terbuat dari seng. Bentuknya kurang lebih seperti alat buat nyiram tanaman yang dijual di tukang-tukang taman yang terbuat dari plastik trus depannya ada belalainya dan bolong-bolong ujungnya tempat dimana air keluar. Nah, kalau gembor-nya mbah kakung ini dari seng, ukurannya besar dan berat minta ampun. Biasanya simbah malah bawa 2 gembor trus lari-lari kecil dari ujung selatan latar sampai ujung dekat teras di sebelah utara (bahasa Jawane: seko kidul tekan lor J).

Itu baru satu kerjaan nyiram latar dan tanaman, belum lagi nyapu halaman. Duuuhhh….ampyuuun dech! Halaman Dalem Nomporejo ini luas banget, tapi tepatnya belum ditanyain, jadi nggak tau berapa. Problemnya nyapu halaman (nyapu latar dalam Bahasa Jawa), selain luas adalah angin kencang yang meluluhlantakkan sampah berupa daun-daun berguguran (autumn bahasa Inggrinya, musim gugur. Hahahaha… maksa!).

Hmm… apalagi yang mau saya critain tentang pringgitan ya? Rasanya itu dulu dech. Makanya datang aja, kita belajar gamelan bersama. Dulu saya belajar gamelan waktu SMP (waktu SMP saya sekolah di desa, di SMP Sanden 1), tapi mungkin karena nggak tekun dan nggak bakat, sampai sekarang nggak bisa. Hehehehe….

Nah, karena saya tidak menguasai gamelan, maka cerita tentang gamelan, saya ambil dari dari Wikipedia. Happy reading :)

Foto Pringgitan


Pringgitan....
Tunggu ceritanya yaaa.... :)

Senin, 08 Februari 2010

PENDOPO

Gambar disamping ini namanya pendopo. Letaknya di bagian depan rumah. Menurut beberapa referensi yang saya baca, pendopo ini biasanya difungsikan sebagai ruang tamu, tapi di Dalem Nomporejo seinget saya nggak pernah buat nerima tamu. Simbah kakung & putri (sebutan kakek & nenek dalam bahasa Jawa) dan keluarga lebih suka menerima tamu di pringgitan atau nggandok.

Oke, kembali ke pendopo yaaaa….

Pendopo ini bentuknya seperti panggung dengan tangga di bagian depan dan belakang (bukan samping). Hmmm… bukan panggung dengan kolong ya, tapi panggung yang solid terbangun dari susunan batu bata di kanan kirinya dan urukan tanah didalamnya, ini kata ibu saya. Pendopo di Dalem Nomporejo tingginya kurang lebih setinggi lutut orang dewasa. Kebayang kan seberapa tingginya?

Saat ini, pendopo di Dalem merupakan bangunan terbuka di seluruh sisinya. Dulu waktu saya masih kecil (SD sd SMP), pendopo ini ditutup gedhek (dinding terbuat dari anyaman bambu) di ke empat sisinya. Maklum, saat itu pendopo kami difungsikan sebagai tempat menyimpan padi yang barusan di panen dari sawah. Jadi di pendopo ini bertumpuklah karung-karung padi segar yang masih berkulit, namanya gabah. Tau kan?

Nah, karena sekarang para padi itu sudah disimpan dalam gudang, jadinya pendopo ini menjadi bagian rumah yang cantik. Pendopo ini disokong dengan cagak (tiang), atau bahasa Jawanya adalah soko. Soko ini terdiri dari 4 buah kayu halus dan di bagian dibawahnya terdapat ompak (batu hitam) untuk memasukkan soko tepat ke bagian tangahnya. Fungsinya biar bisa berdiri tegak dan kuat menyokong atap pendopo.

Pendopo di Dalem Nomporejo dipakai untuk acara mulai dari acara adat, agama sampai kesenian. Misalnya kenduren (kenduri dalam bahasa Indonesia), dikiran (tahlil dalam bahasa Indonesia), juga acara-acara pengajian dan selamatan. Kalau ada acara-acara tertentu biasanya bapak menggelar wayang kulit, ketoprak atau pentas seni seperti gamelan di pendopo ini. Oya, bapak saya penggemar kesenian Jawa, terutama wayang kulit. Nah, saking cintanya, sampai-sampai setiap kali anaknya wisuda, pastilah bapak nanggap wayang semalam suntuk. Pokoknya, buat bapak, selalu ada alas an buat nanggap wayang. Hehehehehe….

Masih tentang pendopo, dulu simbah kakung (kakek) pernah cerita, pendopo ini dulu jaman Belanda dipakai untuk rumah sakit darurat. Jadi para korban perang yang luka dan butuh bantuan dibawa kesini. Mungkin karena letaknya jauh masuk desa jadinya aman buat merawat para korban perang. Hmmm…lumayan juga pendopoku ini ternyata :)

Waktu saya dan adik-adik masih kecil, kami biasa main sepeda muter-muter ditas pendopo. Kayaknya jaman dulu tuh pendopo keliatan gedeeee banget! Ya sekarang juga masih gede sich, tapi beda aja keliatannya. Oya, ada cerita serunya tuh tentang pendopo dan soko yang menyangganya. Kono katanya, kalau kita tidur di pendopo dan kaki kita ditumpangkan di ompak bagian Tenggara (Lor Wetan kalau kata simbah saya), maka begitu bangun kita sudah berada di tempat lain, ada yang di kebon, di latar, atau di kamar mandi. Mungkin ini pelajaran supaya kita sopan dan hormat ya. Nggak percaya? Ya dateng ajaaaaaa…….

Selesai dulu cerita saya. Nah, untuk melengkapi, saya ambilkan cerita tentang pendopo dari blog nya Ibu Dwi Retno, tampaknya beliau seorang arsitek atau antropolog. Ini dia catatannya:

(http://ww3.yuwie.com/blog/entry.asp?id=931082&eid=595839)

Pendopo berasal dari kata pa-andhap-an (andhap = rendah), pendopo merupakan bagian rumah yang berlantai rendah dan terbuka (tanpa dinding). Menurut Ismunandar (1986) pendopo berfungsi sebagai tempat pertemuan atau ruang tamu dan menurut Frick (1997) pendopo berfungsi sebagai tempat berkumpul orang banyak dan menerima tamu. Ruang ini bersifat terbuka dan suasana yang tercermin adalah akrab, cocok dengan fungsinya sebagai bagian penerimaan. Pendopo dapat dilihat langsung dari halaman luar, pendopo juga merupakan zona publik yang siapa saja boleh berada di ruangan ini baik orang luar, maupun orang lain yang dikenal oleh pemilik rumah (Ronald: 2005).

Selasa, 02 Februari 2010

SUASANA LAIN? JADI ORANG DESA!!!

Buat yang orang desa seperti saya, kalau disuruh tinggal di desa ya sudah biasa. Hehehehe…. Tapi saat kepenatan pekerjaan di Jakarta melanda, impian tinggal di desa jadi morfin yang selalu mengajak untuk kembali. Lagi dan lagi. Caranya, ya gampang, tinggal packing, beberapa baju, cabut dech!

Nah, kalau yang nggak punya desa? Gimana caranya?

Ini dia menariknya! Nggak perlu punya desa atau membeli sebuah desa untuk escape from rutinitas dan kestresan pekerjaan atau kepenatan kemacetan atau apapun namanya yang bikin kita bernafas saja rasanya mesti import oksigen. Caranya? Gimana caranya?

Sabaaarr… Sabaaaarrr….

Ide ini muncul dari otak iseng saya yang berusaha mengorek-ngorek apa yang bisa dimanfaatkan dari sesuatu yang dimiliki keluarga. Jadi critanya kami ini berasal dari desa yang jauuuuhhh nun di Bantul sana. Namanya desa Demakan, kelurahan Gadingsari, kecamatan Sanden, kabupaten Bantul, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaaahhh, alamatnya aja panjang bener dan tanpa nomor rumah. Hehehehe….. Tenang! Tenang! Nggak bakal kesasar! :)

Kebetulan, rumah kelurga itu bentuknya pendopo, khas rumah Jawa, lengkap dengan segala macam ubo rampenya (bahasa Indonesianya ubo rampe apaan ya?). Rumah Jawa yang lengkap biasanya terdiri dari Kuncung, Pendopo, Lengkangan, Pringgitan, Nggandok, Ndalem, Senthong, Sepen, Kamar, Pawon. Pastinya kamar mandi juga ada laahh…

Masing-masing bagian itu punya fungsinya sendiri-sendiri. Sama dengan rumah-rumah yang kita tempati sekarang, ada teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, dapur, kamar mandi. Cuma ini beda istilah aja.

Menariknya, bukan cuma rumah ini doang yang jadi obyek pelarian kepenatan kita. Untungnya di pringgitan Delem Nomporejo ada gamelan lengkap yang bisa kita mainkan dan ada guru yang bisa kita datangkan untuk sekedar belajar neng nong neng gong.

Nggak suka gamelan? Gimana kalau kita latihan nari di pendoponya? Konon menurut cerita, bapak ibu saya dulu adalah sepasang penari yang suka pentas di pendopo. Jadilah mereka sekarang menari dalam kehidupan berumah tangga dan jadilah saya dan ke 3 adik saya. Lho, kok malah curhat!? Heheheh…

Ngga suka nari, hmmm… kalau masih mau seputaran rumah, kita bisa mancing di kolam atau sungai di samping rumah. Kalau saya sih nggak terlalu suka, nggak sabar nunggu ikan menggigit umpan! Kalau suka masak, kenapa nggak coba bantu ibu saya di dapur. Dalem Nomporejo dilengkapi dengan tungku yang ndeso banget. Liat dech fotonya! Tapi kalau kesulitan pakai tungku, ada kompor gas kok. Jangan khawatir :)

Pengen jalan-jalan keliling desa? Bisa jalan dengan kaki –lebih sehat, lama dan asik-, bisa pakai sepeda –daripada bike to work dengan hiasan pantat bis dan mobil, mending hiasan pantat sapi-, bisa pakai motor roda dua –lumayan nggak usah ngos-ngosan-, atau mau pakai mobil pick up bapak saya yang kami kasih gelar BMW –Bakterbuka Merah Warnanya-. ASik kan!

Desa kami banyak dibatasi sawah-sawah penduduk. Seringkali saya bayangin main lumpur, nanem bibit padi, atau sekedar foto-foto di galengan sawah. Jaman kecil sih sering banget, tapi udah lama banget keasikan ini tidak saya lakukan. Kangen euy!!!

Kalau nggak suka sawah, main ke pantai yuk! Dalem Nomporejo memiliki pantai dengan jarak tempuh 7 KM dari rumah, kalau pas malam tenang, biasanya kita bisa mendengar suara ombak dari kejauhan. Pantainya bukan cuma satu. Pantai terdekat namanya saya kok lupa ya, tapi kami biasa menyebutnya pantai pasar jambu, kok namanya aneh ya? Jadi, ceritanya pantai ini dikelilingi oleh pohon-pohon jambu klutuk dan para penduduk desa disitu suka menjual jambunya di depan rumah atau di pinggir jalan. Pantai ini ada mercu suarnya, lumayan ngeri juga kalau naik sampai puncaknya, tapi sangat mengasikkan karena anginnya jadi gede banget kalau kita keluar ke balkonnya yang berbentuk melingkar, belum lagi pemandangan laut yang bisa kita lihat dari puncak menaranya.

Selain pantai Pasar Jambu, ada pantai Samas, ini lumayan terkenal, seperti halnya Parangtritis. Trus, ada pantai…. Sik ya, kok lupa namanya. Kalau kita jalan agak jauh, kita bisa nembus ke Parangtritis lewat jalan singkat dan bisa makan ikan di Pantai Depok. Udah pernah denger? Pantai Depok ini terkenal dengan TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Kita bisa beli kiloan dalam kondisi mentah, trus minta digoreng dech. Hmmmm… yummy!!!

Duh, apalagi yang bisa saya ceritakan ya?

Hmmm… sekedar informasi, Delam Nomporejo ini memiliki kamar tidur 6, dan 4 diantaranya kamar mandi dalam. Dikit ya? Eiiittt..jangan salah, kalau mau lebih asik, kita bisa tidur ngampar di Ndalem atau di Pendopo. Hehehehe….

Meminjam nama acara di salah satu studio TV, kita juga bisa menantang diri kita untuk “Andai Saya Menjadi…..” Bisa pilih banyak profesi dan kondisi. Petani, angon Kebo, angon sapi, angon bebek, nderes, mbatik, atauuu… mau jadi diri sendiri?

Nah, udah dulu ya. Nantikan cerita-cerita dan foto-foto saya yang lain.

Erry :)
dalemnomporejo@gmail.com
FB: errykurniawati@gmail.com

Dalem Nomporejo dalam gambar