Senin, 15 Februari 2010
Good morning dear friend :)
Queen Victoria Market VS Pasar Sorobayan*
Pasar..
Pasar adalah panggung di mana wanita-wanita, yang di rumah memegang peran pembantu, menjadi yang nomor satu. Di mana ibu-ibu menjadi sadar harga dirinya, daya tariknya, haknya untuk menentukan dan berbuat apa maunya. Di pasar inilah wanita menjadi lelaki. Bu Bei menjadi Pak Bei yang pergi ‘tirakatan’ Jumat Kliwon. Tatapan mata, sentuhan tangan, senyuman, bisa dipilih untuk diteruskan, ditunda, atau ditawarkan."
(silakan bu, mau beli apa? Kol nya bagus-bagus lho. Ini masih baru..)
“...batik bu, lengkap niki warnane, kantun milih...”
(batik bu, lengkap nich warnanya, bisa milih...)
“....pinarak Bu Mur, niki rak Mbak Erry tho, wah tambah ayu njih. Kapan kundur saking Jakarta Mbak?...”
(mampir Bu Mur, ini Mbak Erry kan, wah tambah cantik ya. Kapan pulang dari Jakarta?...)
Kamis, 11 Februari 2010
GAMELAN
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
PRINGGITAN
Pringgitan, bagus ya kata ini? Kesannya manis, menyambut dan ramah. Ini asosiasi saya pada kata pringgitan. Hehehe… agak maksa ya?
Sebetulnya apa sih pringgitan? Buat teman-teman yang dari Jawa mungkin sudah familiar dengan istilah ini, tapi buat teman-teman yang masih asing, yuk kita ngobrol bareng. Hmm..kalau kita ngobrolnya di pringgitan, pasti lebih asoooyyyy….. –jadul pisan istilahnya ya? :)
Pringgitan ini seperti teras untuk rumah jaman sekarang. Letaknya ada di belakang pendopo, menempel dengan ndalem (rumah bagian dalam). Pringgitan di Dalem Nomporejo ini sekarang sudah ditutup dengan kayu berlubang-lubang –liat fotonya dech!-, alasannya untuk keamanan karena sekarang di pringgitan itu ada seperangkat gamelan. Nah, keliatan kan di fotonya?
Pringgitan ini dulu jaman saya masih SD, bahkan sampai kuliah (tahun ‘93an) dibiarkan terbuka. Biasanya pringgitan ini fungsinya untuk menerima tamu. Dan kalau lebaran, di atas mejanya akan disiapkan camilan roti-roti, kue dan biskuit yang terhidang mengundang selera. Duh, lebaran masih lama ya?
Laaahh, malah inget lebaran. Kembali ke Pringgitan yaaa..
Pringgitan ini adalah salah satu tempat favorit saya. Dulu, sebelum pringgitan ini ditutup, saya suka banget duduk disini, apalagi kalau tengahan sore jam 3an. Angin semilir berasa enak banget bikin ngantuk dan kita bisa bebas memandang latar (bahasa Jawa untuk halaman), jalan di depan rumah dan tembok makam yang eksotis berlumut. Hehehehe… di depan Dalem Nomporejo ini memang makam, tapi nggak serem kok, bener dech! Serius!
Di pringgitan ini biasanya saya baca buku, ditemenin teh manis hangat dan pisang goreng bikinan simbah. Dan yang paling saya suka, kalau simbah ikutan duduk nemenin saya. Rasanya tentrem. Jam-jam segitu, adalah jadwal simbah kakung nyiramin latar biar nggak debu dan nyiramin tanaman. Bau tanah bercampur air siraman rasanya kok enak bener. I miss the atmosphere.
Kalau saya inget-inget, mbah kakung kuat dan sehat banget ya. Lha wong nyiraminnya bukan pake selang yang tinggal dinyalain krannya dan dipencet ujungnya, tapi pakai gembor. Gembor? Apa tuh? Hehehehe…. Gembor itu semacam tempat air untuk nyiram tanaman terbuat dari seng. Bentuknya kurang lebih seperti alat buat nyiram tanaman yang dijual di tukang-tukang taman yang terbuat dari plastik trus depannya ada belalainya dan bolong-bolong ujungnya tempat dimana air keluar. Nah, kalau gembor-nya mbah kakung ini dari seng, ukurannya besar dan berat minta ampun. Biasanya simbah malah bawa 2 gembor trus lari-lari kecil dari ujung selatan latar sampai ujung dekat teras di sebelah utara (bahasa Jawane: seko kidul tekan lor J).
Itu baru satu kerjaan nyiram latar dan tanaman, belum lagi nyapu halaman. Duuuhhh….ampyuuun dech! Halaman Dalem Nomporejo ini luas banget, tapi tepatnya belum ditanyain, jadi nggak tau berapa. Problemnya nyapu halaman (nyapu latar dalam Bahasa Jawa), selain luas adalah angin kencang yang meluluhlantakkan sampah berupa daun-daun berguguran (autumn bahasa Inggrinya, musim gugur. Hahahaha… maksa!).
Hmm… apalagi yang mau saya critain tentang pringgitan ya? Rasanya itu dulu dech. Makanya datang aja, kita belajar gamelan bersama. Dulu saya belajar gamelan waktu SMP (waktu SMP saya sekolah di desa, di SMP Sanden 1), tapi mungkin karena nggak tekun dan nggak bakat, sampai sekarang nggak bisa. Hehehehe….
Nah, karena saya tidak menguasai gamelan, maka cerita tentang gamelan, saya ambil dari dari Wikipedia. Happy reading :)
Senin, 08 Februari 2010
PENDOPO
Oke, kembali ke pendopo yaaaa….
Pendopo ini bentuknya seperti panggung dengan tangga di bagian depan dan belakang (bukan samping). Hmmm… bukan panggung dengan kolong ya, tapi panggung yang solid terbangun dari susunan batu bata di kanan kirinya dan urukan tanah didalamnya, ini kata ibu saya. Pendopo di Dalem Nomporejo tingginya kurang lebih setinggi lutut orang dewasa. Kebayang kan seberapa tingginya?
Saat ini, pendopo di Dalem merupakan bangunan terbuka di seluruh sisinya. Dulu waktu saya masih kecil (SD sd SMP), pendopo ini ditutup gedhek (dinding terbuat dari anyaman bambu) di ke empat sisinya. Maklum, saat itu pendopo kami difungsikan sebagai tempat menyimpan padi yang barusan di panen dari sawah. Jadi di pendopo ini bertumpuklah karung-karung padi segar yang masih berkulit, namanya gabah. Tau kan?
Nah, karena sekarang para padi itu sudah disimpan dalam gudang, jadinya pendopo ini menjadi bagian rumah yang cantik. Pendopo ini disokong dengan cagak (tiang), atau bahasa Jawanya adalah soko. Soko ini terdiri dari 4 buah kayu halus dan di bagian dibawahnya terdapat ompak (batu hitam) untuk memasukkan soko tepat ke bagian tangahnya. Fungsinya biar bisa berdiri tegak dan kuat menyokong atap pendopo.
Pendopo di Dalem Nomporejo dipakai untuk acara mulai dari acara adat, agama sampai kesenian. Misalnya kenduren (kenduri dalam bahasa Indonesia), dikiran (tahlil dalam bahasa Indonesia), juga acara-acara pengajian dan selamatan. Kalau ada acara-acara tertentu biasanya bapak menggelar wayang kulit, ketoprak atau pentas seni seperti gamelan di pendopo ini. Oya, bapak saya penggemar kesenian Jawa, terutama wayang kulit. Nah, saking cintanya, sampai-sampai setiap kali anaknya wisuda, pastilah bapak nanggap wayang semalam suntuk. Pokoknya, buat bapak, selalu ada alas an buat nanggap wayang. Hehehehehe….
Masih tentang pendopo, dulu simbah kakung (kakek) pernah cerita, pendopo ini dulu jaman Belanda dipakai untuk rumah sakit darurat. Jadi para korban perang yang luka dan butuh bantuan dibawa kesini. Mungkin karena letaknya jauh masuk desa jadinya aman buat merawat para korban perang. Hmmm…lumayan juga pendopoku ini ternyata :)
Waktu saya dan adik-adik masih kecil, kami biasa main sepeda muter-muter ditas pendopo. Kayaknya jaman dulu tuh pendopo keliatan gedeeee banget! Ya sekarang juga masih gede sich, tapi beda aja keliatannya. Oya, ada cerita serunya tuh tentang pendopo dan soko yang menyangganya. Kono katanya, kalau kita tidur di pendopo dan kaki kita ditumpangkan di ompak bagian Tenggara (Lor Wetan kalau kata simbah saya), maka begitu bangun kita sudah berada di tempat lain, ada yang di kebon, di latar, atau di kamar mandi. Mungkin ini pelajaran supaya kita sopan dan hormat ya. Nggak percaya? Ya dateng ajaaaaaa…….
Selesai dulu cerita saya. Nah, untuk melengkapi, saya ambilkan cerita tentang pendopo dari blog nya Ibu Dwi Retno, tampaknya beliau seorang arsitek atau antropolog. Ini dia catatannya:
(http://ww3.yuwie.com/blog/entry.asp?id=931082&eid=595839)
Pendopo berasal dari kata pa-andhap-an (andhap = rendah), pendopo merupakan bagian rumah yang berlantai rendah dan terbuka (tanpa dinding). Menurut Ismunandar (1986) pendopo berfungsi sebagai tempat pertemuan atau ruang tamu dan menurut Frick (1997) pendopo berfungsi sebagai tempat berkumpul orang banyak dan menerima tamu. Ruang ini bersifat terbuka dan suasana yang tercermin adalah akrab, cocok dengan fungsinya sebagai bagian penerimaan. Pendopo dapat dilihat langsung dari halaman luar, pendopo juga merupakan zona publik yang siapa saja boleh berada di ruangan ini baik orang luar, maupun orang lain yang dikenal oleh pemilik rumah (Ronald: 2005).
Selasa, 02 Februari 2010
SUASANA LAIN? JADI ORANG DESA!!!
Nah, kalau yang nggak punya desa? Gimana caranya?
Ini dia menariknya! Nggak perlu punya desa atau membeli sebuah desa untuk escape from rutinitas dan kestresan pekerjaan atau kepenatan kemacetan atau apapun namanya yang bikin kita bernafas saja rasanya mesti import oksigen. Caranya? Gimana caranya?
Sabaaarr… Sabaaaarrr….
Ide ini muncul dari otak iseng saya yang berusaha mengorek-ngorek apa yang bisa dimanfaatkan dari sesuatu yang dimiliki keluarga. Jadi critanya kami ini berasal dari desa yang jauuuuhhh nun di Bantul sana. Namanya desa Demakan, kelurahan Gadingsari, kecamatan Sanden, kabupaten Bantul, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaaahhh, alamatnya aja panjang bener dan tanpa nomor rumah. Hehehehe….. Tenang! Tenang! Nggak bakal kesasar! :)
Kebetulan, rumah kelurga itu bentuknya pendopo, khas rumah Jawa, lengkap dengan segala macam ubo rampenya (bahasa Indonesianya ubo rampe apaan ya?). Rumah Jawa yang lengkap biasanya terdiri dari Kuncung, Pendopo, Lengkangan, Pringgitan, Nggandok, Ndalem, Senthong, Sepen, Kamar, Pawon. Pastinya kamar mandi juga ada laahh…
Masing-masing bagian itu punya fungsinya sendiri-sendiri. Sama dengan rumah-rumah yang kita tempati sekarang, ada teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, dapur, kamar mandi. Cuma ini beda istilah aja.
Menariknya, bukan cuma rumah ini doang yang jadi obyek pelarian kepenatan kita. Untungnya di pringgitan Delem Nomporejo ada gamelan lengkap yang bisa kita mainkan dan ada guru yang bisa kita datangkan untuk sekedar belajar neng nong neng gong.
Nggak suka gamelan? Gimana kalau kita latihan nari di pendoponya? Konon menurut cerita, bapak ibu saya dulu adalah sepasang penari yang suka pentas di pendopo. Jadilah mereka sekarang menari dalam kehidupan berumah tangga dan jadilah saya dan ke 3 adik saya. Lho, kok malah curhat!? Heheheh…
Ngga suka nari, hmmm… kalau masih mau seputaran rumah, kita bisa mancing di kolam atau sungai di samping rumah. Kalau saya sih nggak terlalu suka, nggak sabar nunggu ikan menggigit umpan! Kalau suka masak, kenapa nggak coba bantu ibu saya di dapur. Dalem Nomporejo dilengkapi dengan tungku yang ndeso banget. Liat dech fotonya! Tapi kalau kesulitan pakai tungku, ada kompor gas kok. Jangan khawatir :)
Pengen jalan-jalan keliling desa? Bisa jalan dengan kaki –lebih sehat, lama dan asik-, bisa pakai sepeda –daripada bike to work dengan hiasan pantat bis dan mobil, mending hiasan pantat sapi-, bisa pakai motor roda dua –lumayan nggak usah ngos-ngosan-, atau mau pakai mobil pick up bapak saya yang kami kasih gelar BMW –Bakterbuka Merah Warnanya-. ASik kan!
Desa kami banyak dibatasi sawah-sawah penduduk. Seringkali saya bayangin main lumpur, nanem bibit padi, atau sekedar foto-foto di galengan sawah. Jaman kecil sih sering banget, tapi udah lama banget keasikan ini tidak saya lakukan. Kangen euy!!!
Kalau nggak suka sawah, main ke pantai yuk! Dalem Nomporejo memiliki pantai dengan jarak tempuh 7 KM dari rumah, kalau pas malam tenang, biasanya kita bisa mendengar suara ombak dari kejauhan. Pantainya bukan cuma satu. Pantai terdekat namanya saya kok lupa ya, tapi kami biasa menyebutnya pantai pasar jambu, kok namanya aneh ya? Jadi, ceritanya pantai ini dikelilingi oleh pohon-pohon jambu klutuk dan para penduduk desa disitu suka menjual jambunya di depan rumah atau di pinggir jalan. Pantai ini ada mercu suarnya, lumayan ngeri juga kalau naik sampai puncaknya, tapi sangat mengasikkan karena anginnya jadi gede banget kalau kita keluar ke balkonnya yang berbentuk melingkar, belum lagi pemandangan laut yang bisa kita lihat dari puncak menaranya.
Selain pantai Pasar Jambu, ada pantai Samas, ini lumayan terkenal, seperti halnya Parangtritis. Trus, ada pantai…. Sik ya, kok lupa namanya. Kalau kita jalan agak jauh, kita bisa nembus ke Parangtritis lewat jalan singkat dan bisa makan ikan di Pantai Depok. Udah pernah denger? Pantai Depok ini terkenal dengan TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Kita bisa beli kiloan dalam kondisi mentah, trus minta digoreng dech. Hmmmm… yummy!!!
Duh, apalagi yang bisa saya ceritakan ya?
Hmmm… sekedar informasi, Delam Nomporejo ini memiliki kamar tidur 6, dan 4 diantaranya kamar mandi dalam. Dikit ya? Eiiittt..jangan salah, kalau mau lebih asik, kita bisa tidur ngampar di Ndalem atau di Pendopo. Hehehehe….
Meminjam nama acara di salah satu studio TV, kita juga bisa menantang diri kita untuk “Andai Saya Menjadi…..” Bisa pilih banyak profesi dan kondisi. Petani, angon Kebo, angon sapi, angon bebek, nderes, mbatik, atauuu… mau jadi diri sendiri?
Nah, udah dulu ya. Nantikan cerita-cerita dan foto-foto saya yang lain.
Erry :)
dalemnomporejo@gmail.com
FB: errykurniawati@gmail.com