Kamis, 11 Maret 2010

MARO GABAH

Ijinkan saya menyisipkan tulisan sedikit ilmiah untuk DALEM NOMPOREJO. Tulisan ini saya ambil dari paper untuk mata kuliah Psikologi Perdaimaian. Mata kuliah yang sangat mencerahkan dan membuka mata bahwa psikologi bukan hanya mengutak utik yang sakit, tapi adalah usaha preventif sehingga masing-masing individu memiliki kesejahteraan psikologisnya.  

Semoga dapat menjadi manfaat.....


Maro gabah dikenal di desa saya, Sanden, Bantul, Yogyakarta. Konsepnya adalah pemilik tanah memberikan tanahnya untuk diolah pada buruh tani yang –biasanya- tidak memiliki tanah untuk diolah. Konsep ini tidak memerlukan uang dalam transaksinya, tapi murni pembagian hasil sawah yang berupa gabah, dengan komposisi 50%-50%, 50% pemilik tanah dan 50% penggarap sawah. 50% yang dibagi ini adalah jumlah setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan, seperti bibit, pupuk, tenaga kerja.  

Maro gabah ini dimulai sejak jaman Belanda. Dalam satu sistem masyarakat terdiri dari 2 kelompok, yaitu tuan tanah –yang biasanya secara sosial ekonomi kaya- dan buruh tani –yang biasanya secara sosial ekonomi miskin. Para tuan tanah ini biasanya memiliki tanah karena:
  1. Warisan dari orang tuanya, biasanya mereka adalah para ningrat atau bangsawan
  2. Kaki tangan Belanda
  3. Penjaga perkebunan
  4. Jabatan dalam pemerintahan: lurah atau carik yang mendapat tanah bengkok (tanah lenggah)
Dalam struktur masyarakat ini umumnya terjadi perbedaan strata dan gap antar kelompok, yaitu yang berpunya dengan kelompok miskin, kelompok bangsawan dan kelompok jelata. Disini ada potensial konflik diantara 2 kelompok tersebut, seperti kecemburuan sosial dan eksklusifisme dari masing-masing kelompok. Menurut Homans (1958), Blau (1964) dan Walster, Walster, dan Berscheid (1978) dalam Isenhart & Spangle, 2000, konflik ini muncul dari perspektif distribusi keadilan. Orang menjadi distres, frustasi dan marah ketika mereka tidak menerima distribusi dengan adil atas sesuatu yang berharga. Maro gabah ini memiliki 2 perspektif, yaitu:
  1. Murni transaksi ekonomi, biasanya pemilik tanah tidak memiliki waktu dan tenaga untuk manggarap sawah, sehingga mereka memberikan pada orang lain untuk mengolahnya. Pada persepektif ini biasanya mereka memilih orang dengan produktivitas yang tinggi supaya hasil panennya optimal.
  2. Sikap kepedulian pada sesama yang berada dalam komunitas tersebut. Sikap mendukung sesama yang kurang beruntung. Selain itu juga membuat kelompok ini semakin kohesif dan bertransformasi menjadi inklusif.
Dalam sistem masyarakat desa yang komunal, maro gabah menjadi suatu sistem sosial yang lebih kepada tanggung jawab bersama. Maro gabah menjadi satu bentuk peacekeeping, yang pada dasarnya merupakan bentuk reaktif dengan tujuan mengurangi situasi yang buruk dari konflik. Dengan maro gabah, maka akan tercipta keadilan yang dirasakan oleh seluruh warga yang ada di desa tersebut dan menghilangkan gap serta eksklusifitas dari masing-masing kelompok.  

Dalam Teori Equity, Murdoon (1996) dalam Isenhart & Spangle, 2000, menjelaskan bahwa, “masing-masing dari kita memiliki moral internal yang dapat digunakan untuk menciptakan stabilitas atau memelihara kita dalam kehidupan yang seimbang dengan dunia luar. Hal itu akan terganggu manakala kita merasa bahwa orang lain akan mengambil benefit dari pengeluaran kita atau ketika kita mengambil benefit secara tidak adil atas pengeluaran orang lain”. Menurut teori Equity, maro gabah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral dari mereka yang memiliki sumber daya berlebih, dalam hal ini sumber daya finansial (financial capital) dan lahan, yang kemudian dibagi kepada mereka yang memiliki sumber daya tenaga (human capital). Tujuannya agar terjadi pemerataan dalam komunitas tersebut dan seimbang. Pemberdayaan yang ada didalam komunitas tersebut akan membuat kesetaraan dan semakin sempitnya gap yang ada diantara 2 kelompok. Dengan begitu, masing-masing pihak akan merasa equal. Secara jangka panjang potensial konflik yang mungkin terjadi akan terminimalisir dan menjadi tindakan preventif untuk tetap menjaga perdamaian (peacekeeping).  

Dalam Isenhart & Spangle, 2000, disebutkan bahwa Teori Sistem merupakan teori yang berperspektif keluarga, kelompok, dan organisasi sebagai unit dari bagian yang saling terhubung, mempengaruhi dan memiliki fungsi dalam lingkungan yang lebih besar. Penemu teori sistem, yaitu Ludwig von Bertalanffy (1955), menggambarkan teori ini seperti organisme biologis. Seperti organisme biologis, sistem dikarakteristikkan seperti tertutup dan terbuka berdasarkan pada tindakan responsif pada informasi eksternal pada sistem tersebut. Homeostatis menjadi tujuan dari para pihak dan mereka akan saling menyesuaikan komunikasi mereka untuk mencapai atau memelihara keseimbangan. Anggota kelompok dalam sistem tersebut saling tergantung, seperti halnya mereka juga saling mempengaruhi secara simultan. Sistem bukanlah hitungan linear, tapi merupakan penjumlahan dari banyak bagian.  

Cupach dan Canary (1997) menjabarkan 3 kategori dari sistem yang di-breakdown menjadi:
  1. Transaksional yang tidak berguna, dimana orang terlibat konflik yang sama, pola interaksi yang tidak berubah. Orang dalam sistem ini tidak dapat melihat ketidakefektifan dalam pola ini atau tidak rela untuk mengubah pola tersebut. Sehingga seolah mereka mempertahankan status quo.
  2. Penyebab sistem rusak adalah ketika satu bagian dari sistem, sebuah subsistem, menjadi tidak efektif. Kurangnya kerjasama atau kegagalan pada sebuah sistem membuat sulitnya sistem tersebut mencapai tujuannya.
  3. Penyebab keterlibatan anggota yang melebihi peran. Ketika seseorang lebih berharap pada peran, ketidakseimbangan akan muncul.
Sosiolog Talcott Parson, Robert Merton dan Emile Durkheim memakai konsep sistem untuk mendeskripsikan pengaruh konflik pada kesehatan atau keefektifan kelompok. Mereka mendeskripsikan stabilitas dan sistem fungsional sebagai satu kesatuan dimana masing-masing anggota menciptakan harmonisasi dalam keseluruhan yang lebih besar. Disfungsi muncul ketika orang menyebabkan gangguan dalam sistem yang stabil.  

Menurut Teori Sistem, maro gabah merupakan salah satu cara untuk membuat komunitas desa tersebut mencapai homeostatis atau keseimbangan. Saat dua kelompok yang berbeda, yaitu kaya dan miskin ini tidak membantu, maka mereka tetap berada di 2 kutub yang berbeda. Buruh tani yang miskin akan berkutat dengan kemiskinannya dan kemungkinan lain yang lazim terjadi adalah para buruh ini akan keluar dari desa tersebut untuk mencari penghidupan di tempat lain dengan bekerja serabutan apa saja. Sementara disisi lain, sebenarnya pemilik tanah juga membutuhkan buruh tani, terlepas dengan tujuan membantu mereka untuk memperbaiki kehidupan ekonomi atau murni untuk menggarap sawah para pemilik tanah. Diantara 2 kelompok ini ada saling ketergantungan. Buruh tani membutuhkan lahan untuk digarap sebagai mata pencaharian atau sumber penghidupan mereka, sementara pemilik tanah membutuhkan petani penggarap. 

Bila ini berlanjut terus menerus, maka akan menjadi semacam siklus dalam masyarakat desa tersebut untuk saling menopang kebutuhan pihak lain. Dari sini akan tercipta homeostatis dalam sistem sosial, karena mereka sama-sama terpenuhi kebutuhannya. Tamas, 1987 & 2000 menyebutkan bahwa, dalam teori sistem dikenal energi atau pengaruh, yaitu variasi dari macam-macam hal yang melampaui batasan/bounderis. Energi ini disebut juga social power atau psychological energy yang merupakan elemen yang dibutuhkan dalam fungsi sistem sosial. Energi ini dapat menolong peningkatan kesejahteraan komunitas. 

Dibutuhkan energi dari komponen masyarakat desa, terutama pemilik tanah untuk punya tanggung jawab moral dan keinginan dari dalam diri untuk memberikan sawahnya untuk diolah buruh tani, dibanding hanya mempekerjakan buruh tani dalam mengolah sawahnya. Dalam susunan masyarakat desa ini, apabila buruh tani tidak memiliki modal diawal untuk membeli pupuk, bibit, dan keperluan lain, maka dia bisa meminjam uang dulu pada pemilik tanah. Ada beberapa pemilik tanah yang memberikan pinjaman dengan ditambah bunga, namun dalam konteks perdamaian, social power atau psychological energy yang keluar adalah semangat membantu dan kebersamaan.  

Dengan adanya saling ketergantungan dan pola terus menerus sepert ini, diharapkan desa tersebut akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, yaitu kebutuhan pekerjaan, kebutuhuhan tenaga kerja dan kebutuhan pokok beras. Harapannya adalah ada kehidupan dan penghidupan yang lebih layak bagi para petani buruh dan homeostatis dari komunitas desa tersebut. Dengan terpenuhinya kebutuhan pada masing-masing individu dan kelompok dalam sistem tersebut, maka akan tercipta well-being atau kesejahteraan dalam komunitas tersebut. Dengan well-being, maka kondisi damai akan terpelihara dan berkelanjutan.  

REFERENSI Isenhart, Myra Warren & Spangle, Michael, Collaborative Approaches to Resolving Conflict, Sage Publication Inc., 2000 | Tamas, Andy, Sistem Theory in Community Development, White House, Yukon, & Almonte, Ontario, 1987 & 2000

Rabu, 03 Maret 2010

DALEM NOMPOREJO


-Ssstttt....foto dengan tulisan memang nggak ada hubungannya, tapi daripada nggak ada fotonya, jadi maafkanlah :) -

Hehehehehe… saya bingung mau kasih judul apa, ya sudahlah saya kasih judul seperti nama rumahnya saja.

Sebetulnya nama Dalem Nomporejo itu bukan nama rumah ini, tapi hanya buatan saya dan adik-adik aja, biar keren dan gaya. Hahahaha…. Kalau sejarah namanya, Nomporejo itu adalah nama kuno dari Demakan. Demakan ini nama dusun saya. Sik, apa bedanya dusun dan desa? Saya nyebutnya dusun karena kepala kampung Demakan kami sebut dengan Kadus (Kepala Dusun) bukan Kades (Kepala Desa), tapi orang-orang disini menyebutnya dengan istilah lain lagi, yaitu Dukuh. Pak Dukuh, begitu para penduduk memanggil beliau. Dukuh Supri namanya. Orangnya masih muda, dia adik kelas saya di SMP 1 Sanden. Kagum saya sama beliau, berani maju sebagai Dukuh. Secara banyak pekerjaan yang biasanya lebih dididam-idamkan sama orang-orang muda seperti beliau, tapi tampaknya panggilan untuk mengabdi di dusun Demakan lebih kuat memanggil. HEBAT!!!!

Eh, kok jadi nggosipin Pak Dukuh Supri ki piye tho?

Balik ke asal muasal nama ya! Jadi, Nomporejo itu nama Demakan tempoe doeloe. Seperti Batavia untuk Jakarta. Nah, bapak saya suka banget sama nama ini, jadinya kami juga kebawa dech untuk kasih nama jadi Delam Nomporejo, kesannya lebih Njawani dan lebih klasik dibanding nama Dalem Demakan. Iya kan?

Beberapa teman yang sudah membuka blog ini Tanya sama saya,”…Ri, ini rumahnya siapa? Rumah itu masih ada nggak?” Saya jawab ini rumah turun temurun dari nenek moyang, mungkin dibangun sekitar tahun 1800-an, ini sih kata bapak saya. Belum teruji kebenarannya sih, tapi kalua betul begitu, wah..bangga juga bisa tinggal di rumah peninggalan simbah ini :) Rumah ini masih tegak berdiri dengan renovasi dan perbaikan berkala. Hanya yang agak disayangkan adalah, bapak me-renovasinya dengan sentuhan modern. Maklum, bapak lebih mengutamakan kekeuatan, kekokohan dan kemampubertahanan bangunan dibanding artistiknya. Dan memang bapak saya ini kurang artistic sih. Hehehehe…. Maaf lho pak ;)

Beberapa teman yang lain Tanya,”Boleh berkunjung kesitu nggak?” Wah, ya boleh banget tho yooo….! Monggo…monggo…datang berkunjung, mumpung masih free dan belum di komersilkan. Hehehehe….

Selain pertanyaan, sahabat saya Risa kasih usulan yang brilian,”Gimana kalau disitu kita bisa foto a la perempuan dan pria Jawa, dengan kebaya lengkap untuk perempuan dan sorjan untuk kaum pria-nya?” Iya juga ya, bukannya kalau kita ke Belanda atau Cina kita sering foto dengan pakaian adat mereka? Thank you usulnya ya sista….. :) Sebetulnya saya punya fotonya simbah buyut kakung dan simbah buyut putrid dengan pakaian Jawa dan sangat klasik. Beliau berdua foto seluruh badan berdua dan tanpa alas kaki. Foto itu baguuuusss sekali, tapi maaf, belum saya scan. Menyusul ya.

Usulan Risa selain itu adalah andong. Tau andong? Bahasa Indonesianya Delman. Keren juga ya kita keliling desa pakai andong, kayak di Malioboro itu lho. Tapi kudanya mahal je Sa! Hmmm….

Itu dulu ya ceritanya, saya mau kerja lagi nich. Besok kita sambung lagi dengan cerita-cerita klasik masa lalu dari kerajaan Nomporejo. Tentang kenapa namanya Demakan, tentang siapa itu Mbah Demak. Waah, masih banyak dech yang belum sempat ditulis.

Mekaten njih. Pareng, nyuwun pamit rumiyin:)