Kamis, 11 Februari 2010

PRINGGITAN


Pringgitan, bagus ya kata ini? Kesannya manis, menyambut dan ramah. Ini asosiasi saya pada kata pringgitan. Hehehe… agak maksa ya?

Sebetulnya apa sih pringgitan? Buat teman-teman yang dari Jawa mungkin sudah familiar dengan istilah ini, tapi buat teman-teman yang masih asing, yuk kita ngobrol bareng. Hmm..kalau kita ngobrolnya di pringgitan, pasti lebih asoooyyyy….. –jadul pisan istilahnya ya? :)

Pringgitan ini seperti teras untuk rumah jaman sekarang. Letaknya ada di belakang pendopo, menempel dengan ndalem (rumah bagian dalam). Pringgitan di Dalem Nomporejo ini sekarang sudah ditutup dengan kayu berlubang-lubang –liat fotonya dech!-, alasannya untuk keamanan karena sekarang di pringgitan itu ada seperangkat gamelan. Nah, keliatan kan di fotonya?

Pringgitan ini dulu jaman saya masih SD, bahkan sampai kuliah (tahun ‘93an) dibiarkan terbuka. Biasanya pringgitan ini fungsinya untuk menerima tamu. Dan kalau lebaran, di atas mejanya akan disiapkan camilan roti-roti, kue dan biskuit yang terhidang mengundang selera. Duh, lebaran masih lama ya?

Laaahh, malah inget lebaran. Kembali ke Pringgitan yaaa..

Pringgitan ini adalah salah satu tempat favorit saya. Dulu, sebelum pringgitan ini ditutup, saya suka banget duduk disini, apalagi kalau tengahan sore jam 3an. Angin semilir berasa enak banget bikin ngantuk dan kita bisa bebas memandang latar (bahasa Jawa untuk halaman), jalan di depan rumah dan tembok makam yang eksotis berlumut. Hehehehe… di depan Dalem Nomporejo ini memang makam, tapi nggak serem kok, bener dech! Serius!

Di pringgitan ini biasanya saya baca buku, ditemenin teh manis hangat dan pisang goreng bikinan simbah. Dan yang paling saya suka, kalau simbah ikutan duduk nemenin saya. Rasanya tentrem. Jam-jam segitu, adalah jadwal simbah kakung nyiramin latar biar nggak debu dan nyiramin tanaman. Bau tanah bercampur air siraman rasanya kok enak bener. I miss the atmosphere.

Kalau saya inget-inget, mbah kakung kuat dan sehat banget ya. Lha wong nyiraminnya bukan pake selang yang tinggal dinyalain krannya dan dipencet ujungnya, tapi pakai gembor. Gembor? Apa tuh? Hehehehe…. Gembor itu semacam tempat air untuk nyiram tanaman terbuat dari seng. Bentuknya kurang lebih seperti alat buat nyiram tanaman yang dijual di tukang-tukang taman yang terbuat dari plastik trus depannya ada belalainya dan bolong-bolong ujungnya tempat dimana air keluar. Nah, kalau gembor-nya mbah kakung ini dari seng, ukurannya besar dan berat minta ampun. Biasanya simbah malah bawa 2 gembor trus lari-lari kecil dari ujung selatan latar sampai ujung dekat teras di sebelah utara (bahasa Jawane: seko kidul tekan lor J).

Itu baru satu kerjaan nyiram latar dan tanaman, belum lagi nyapu halaman. Duuuhhh….ampyuuun dech! Halaman Dalem Nomporejo ini luas banget, tapi tepatnya belum ditanyain, jadi nggak tau berapa. Problemnya nyapu halaman (nyapu latar dalam Bahasa Jawa), selain luas adalah angin kencang yang meluluhlantakkan sampah berupa daun-daun berguguran (autumn bahasa Inggrinya, musim gugur. Hahahaha… maksa!).

Hmm… apalagi yang mau saya critain tentang pringgitan ya? Rasanya itu dulu dech. Makanya datang aja, kita belajar gamelan bersama. Dulu saya belajar gamelan waktu SMP (waktu SMP saya sekolah di desa, di SMP Sanden 1), tapi mungkin karena nggak tekun dan nggak bakat, sampai sekarang nggak bisa. Hehehehe….

Nah, karena saya tidak menguasai gamelan, maka cerita tentang gamelan, saya ambil dari dari Wikipedia. Happy reading :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar