Rabu, 03 Maret 2010

DALEM NOMPOREJO


-Ssstttt....foto dengan tulisan memang nggak ada hubungannya, tapi daripada nggak ada fotonya, jadi maafkanlah :) -

Hehehehehe… saya bingung mau kasih judul apa, ya sudahlah saya kasih judul seperti nama rumahnya saja.

Sebetulnya nama Dalem Nomporejo itu bukan nama rumah ini, tapi hanya buatan saya dan adik-adik aja, biar keren dan gaya. Hahahaha…. Kalau sejarah namanya, Nomporejo itu adalah nama kuno dari Demakan. Demakan ini nama dusun saya. Sik, apa bedanya dusun dan desa? Saya nyebutnya dusun karena kepala kampung Demakan kami sebut dengan Kadus (Kepala Dusun) bukan Kades (Kepala Desa), tapi orang-orang disini menyebutnya dengan istilah lain lagi, yaitu Dukuh. Pak Dukuh, begitu para penduduk memanggil beliau. Dukuh Supri namanya. Orangnya masih muda, dia adik kelas saya di SMP 1 Sanden. Kagum saya sama beliau, berani maju sebagai Dukuh. Secara banyak pekerjaan yang biasanya lebih dididam-idamkan sama orang-orang muda seperti beliau, tapi tampaknya panggilan untuk mengabdi di dusun Demakan lebih kuat memanggil. HEBAT!!!!

Eh, kok jadi nggosipin Pak Dukuh Supri ki piye tho?

Balik ke asal muasal nama ya! Jadi, Nomporejo itu nama Demakan tempoe doeloe. Seperti Batavia untuk Jakarta. Nah, bapak saya suka banget sama nama ini, jadinya kami juga kebawa dech untuk kasih nama jadi Delam Nomporejo, kesannya lebih Njawani dan lebih klasik dibanding nama Dalem Demakan. Iya kan?

Beberapa teman yang sudah membuka blog ini Tanya sama saya,”…Ri, ini rumahnya siapa? Rumah itu masih ada nggak?” Saya jawab ini rumah turun temurun dari nenek moyang, mungkin dibangun sekitar tahun 1800-an, ini sih kata bapak saya. Belum teruji kebenarannya sih, tapi kalua betul begitu, wah..bangga juga bisa tinggal di rumah peninggalan simbah ini :) Rumah ini masih tegak berdiri dengan renovasi dan perbaikan berkala. Hanya yang agak disayangkan adalah, bapak me-renovasinya dengan sentuhan modern. Maklum, bapak lebih mengutamakan kekeuatan, kekokohan dan kemampubertahanan bangunan dibanding artistiknya. Dan memang bapak saya ini kurang artistic sih. Hehehehe…. Maaf lho pak ;)

Beberapa teman yang lain Tanya,”Boleh berkunjung kesitu nggak?” Wah, ya boleh banget tho yooo….! Monggo…monggo…datang berkunjung, mumpung masih free dan belum di komersilkan. Hehehehe….

Selain pertanyaan, sahabat saya Risa kasih usulan yang brilian,”Gimana kalau disitu kita bisa foto a la perempuan dan pria Jawa, dengan kebaya lengkap untuk perempuan dan sorjan untuk kaum pria-nya?” Iya juga ya, bukannya kalau kita ke Belanda atau Cina kita sering foto dengan pakaian adat mereka? Thank you usulnya ya sista….. :) Sebetulnya saya punya fotonya simbah buyut kakung dan simbah buyut putrid dengan pakaian Jawa dan sangat klasik. Beliau berdua foto seluruh badan berdua dan tanpa alas kaki. Foto itu baguuuusss sekali, tapi maaf, belum saya scan. Menyusul ya.

Usulan Risa selain itu adalah andong. Tau andong? Bahasa Indonesianya Delman. Keren juga ya kita keliling desa pakai andong, kayak di Malioboro itu lho. Tapi kudanya mahal je Sa! Hmmm….

Itu dulu ya ceritanya, saya mau kerja lagi nich. Besok kita sambung lagi dengan cerita-cerita klasik masa lalu dari kerajaan Nomporejo. Tentang kenapa namanya Demakan, tentang siapa itu Mbah Demak. Waah, masih banyak dech yang belum sempat ditulis.

Mekaten njih. Pareng, nyuwun pamit rumiyin:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar